21 Desember 2008

Tentang Warok Ponorogo

Tradisi Masyarakat Ponorogo memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan masyarakat lain di Jawa. Literatur Jawa mengenal istilah Warok Ponorogo, namun Icon Warok itu sendiri sampai sekarang masih belum bisa didefinisikan secara tegas. Beberapa dugaan misalnya, kata warok disinonimkan dengan kata weruk (Jawa) yang berarti besar sekali, nampak berbeda dengan pengertian wara’ dalam literatur sufi yang berarti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat.
Kenyataannya, Warok bukan hanya seorang yang berperawakan besar dan gagah perkasa, tapi ia figur ksatria yang berbudi pekerti luhur, memegang norma sosial secara ketat, dan memiliki kelas yang tinggi di kalangan masyarakat Ponorogo. Kehidupan Warok tidak dapat dipisahkan dari kesenian reyog, sebab ia pimpinannya. Ia sangat tinggi kedudukannya, berwibawa, dan dapat mempengaruhi konco reyog baik segi tingkah laku sosial maupun spiritualnya.

Pendahuluan

Dewasa ini umat manusia di seluruh dunia sedang dilanda keguncangan yang luar biasa akibat proses globalisasi yang bersifat mendunia. Akhirnya tak ada masyarakat yang dapat mengasingkan diri dari pengaruh peradaban dan kebudayaan Barat global, betapapun mereka berada di daerah Timur terpencil.

Kebudayaan Barat bukan tipe kebudayaan yang sempurna, walaupun banyak unsur positif yang bermanfaat. Oleh karena itu, para pemikir Timur umumnya bersifat menahan dan mendua dalam menghadapi arus globalisasi kebudayaan Barat. Nilai ilmu dan teknologinya sangat menggiurkan bagi kemajuan alam pikiran Timur. Namun, unsur-unsur negatif yang dibawa oleh Barat jelas akan merasuk juga ke dalam budaya Timur. Untuk mempertahankan jati diri ketimuran ini ada sementara orang yang menyimpulkan bahwa salah satu caranya adalah menggali nilai-nilai budaya tradisional yang mereka pandang luhur untuk dijadikan tiang penyangganya. Munculnya kebatinan atau kejawen dinilai sebagai “suatu respon yang positif” terhadap tantangan kehidupan modern. Namun kelemahan terbesar dari aspek kerohanian Jawa yang tidak berkitab suci ini adalah tidak adanya kesatuan konsep.

Di kalangan muslim Jawa Ponorogo misalnya orang sulit untuk mencari konsep teoritis yang jelas dari ajaran kerohaniannya. Mistisisme yang dianut oleh kalangan Warok ini sebagian masih diwarnai oleh ajaran-ajaran dari luar tradisi Islam, tetapi nuansa islami tetap melekat di dalamnya. Hal ini dapat dimengerti sebagai akibat dari proses islamisasi ajaran Hindu Budha pada saat dilaksanakan Babad Ponorogo pada tahun 1486 M oleh orang-orang Demak utusan Raden Patah.

1. Profil Warok Ponorogo
Masyaraka
Masyarakat Ponorogo tidak berbeda dengan masyarakat di kota lain. Lebih-lebih dengan pesatnya perkembangan kebudayaan serta semakin mudahnya perhubungan antar daerah, maka sudah barang tentu orang sukar untuk membedakan mana penduduk Ponorogo dan mana yang bukan.

Kalau orang mengenal Warok Ponorogo, sebenarnya ia sudah mulai mengenal sebagian ciri khas daerah. Identitas Warok biasanya hanya dikenal pada pakaiannya yang serba hitam saja. Pakaian ini adalah pakaian asli daerah Ponorogo. Sedangkan pengertian Warok itu sendiri sampai sekarang masih belum dikenal dengan pasti. Dalam pengertian sehari-hari, kata warok sinonim dengan kata weruk yang berarti besar sekali, misalnya weduse wis weruk, artinya kambingnya sudah besar sekali, endi warokane?, artinya manakah yang paling besar, paling kuat, dan paling berani?

Bila memperhatikan contoh di atas, maka kata warok atau weruk berarti yang paling besar. Hal ini tampak dalam kalimat endi warokane? Jadi yang paling besarlah yang mendapat sebutan Warok. Kalau ada sekelompok anak atau sekelompok orang dewasa, maka yang diberi sebutan Warokan ialah mana yang paling berani, paling kuat, dan paling besar.

Dalam literatur sufi (mistisisme Islam) dikenal istilah warak (wara’), yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat, ترك الشبهات, karena dengan mendekati syubhat seseorang akan terjerumus kepada sesuatu yang haram. Wara’ adalah sebuah strata, kelas bagi seorang yang menempuh jalan sufi, atau populer disebut bagian dari maqamat dalam tasawuf. Hal ini, -- sebagaimana yang dikutip oleh Simuh -- dari pendapat Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi yang menyebutkan ada tujuh maqam dalam tasawuf, yaitu: التوبة والورع والزهد والفقر والصبر والتوكل والرضا, “taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, dan ridha.

Para sufi membagi warak atas dua bagian. Pertama, warak lahiriah, yakni tidak menggunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Kedua, warak batiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah.

Kata Warak tidak terdapat dalam Alquran. Secara harfiah, warak dekat dengan kata wara’ yang artinya menahan diri supaya tidak jatuh kepada kecelakaan. Ringkasnya, wara’ adalah nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasan dan tindakan dari sejauh mana keduanya memproses penyucian dirinya. Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya, dan celakalah orang yang mencemari dirinya (Q.S. 91: 9 – 10). Sedangkan salah satu misi Nabi Muhammad Saw. adalah “mensucikan kamu” (Q.S. 2: 151; 62: 2 dan 3: 164).

Dalam terminologi budaya Ponorogo, Warok memiliki arti yang khas. Dalam pengertiannya, Warok dibedakan dari Warokan. Warok ialah seorang pemimpin yang membawahi Warokan. Jadi Warokan berada setingkat di bawah Warok. Warokan terdiri dari pemuda-pemuda jagoan yang pada grup kesenian Reyog ia menjadi pemain ganongan atau yang memainkan barongan. Mereka adalah para pemuda pilihan yang telah membekali diri dengan ilmu. Sedangkan Warok ialah (pinituwa) pemimpin.

Seorang disebut Warok jika ia sudah besar sekali wibawanya dan besar sekali kedudukannya dalam masyarakat. Ia disegani dan dihormati. Gambaran wantah dari seluruh jiwa Warok diwujudkan dalam bentuk yang berperawakan tinggi besar, berkumis, dan berjanggut panjang. Pada pipi dan dada tumbuh bulu-bulu hitam. Ia memakai pakaian yang serba hitam. Menurut kepercayaan setempat, hitam mengandung makna keteguhan. Sedangkan lambang kesucian budi, ilmu, dan tingkah berupa ikat pinggang--koloran, usus-usus (Jawa)--yang berwarna putih, panjang, dengan ujungnya terurai. Dari sini akhirnya, didapat pengertian bahwa manusia itu perlu sekali dikuatkan dengan kesucian budi, ilmu, dan tingkah laku.

Dahulu, Warok pada umumnya menjabat sebagai Demang. Sedangkan dalam kesenian reyog ia sebagai pimpinan, yang sekaligus menjadi pemain barongan. Demikian ini dengan harapan agar jiwa ksatria dan keteguhan hati itu secara tidak langsung dapat menjiwai seluruh konco reyog atau pelaku dalam kesenian reyog.

Orang yang mendapat gelar Warok tidak banyak jumlahnya. Kadang-kadang dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang Warok saja atau bahkan tidak ada. Lain halnya dengan Warokan, mereka banyak dijumpai di mana-mana, sebab mereka masih dalam proses untuk menjadi Warok. Seseorang telah disebut Warok jika telah memiliki watak dan sifat sebagai berikut:

1. Sugih ilmu lan sakti. Ilmu lan kasaktene iku ora kanggo diri pribadi, kanggo mulang marang sapa bae, malah-malah marang lingkungane.

Artinya: kaya akan ilmu dan sakti. Ilmu dan kesaktiannya bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membantu siapa saja, khususnya bagi lingkungan sekitarnya.

2. Seneng tetulung liyan kanthi, sepi ing pamrih rame ing gawe, yen perlu gelem dadi korban.

Artinya: Suka menolong sesama, tidak suka mengharap tapi banyak berbuat, bahkan jika perlu ia bersedia menjadi korban

3. Ngayomi marang kulowargo, tonggo teparo, lingkungan masyarakat ing desa dan negarane.

Artinya: Melindungi keluarga, tetangga, lingkungan masyarakat desa dan negaranya.

4. Yen ana gawe parigawe, ngenthengake tenagane, ora ngetung marang kesangsarane laku. Yen ora ana gawe cukup ana buri, jeneng tut wuri handayani.

Artinya: Jika orang lain punya kesibukan, ia suka membantu, tanpa memperhitungkan jasa. Tetapi jika tak ada kesibukan ia cukup berada di belakang, tut wuri handayani, memberi dukungan dari belakang.

5. Watake kena diucapake: “Yen lemes kena kangge tali, nanging yen pinuju kaku kena kanggu pikulan”. Tegese watak gelem ngalah, nanging yen ora keno dikalahi malah dadi musuh kang bebayani.

Artinya: Wataknya bisa dikatakan; ketika lunak ia bisa menjadi tali pengikat, tetapi ketika keras dapat menjadi pengungkit. Artinya, ia punya watak mau mengalah, tetapi jika tidak bisa dikalahkan justru menjadi musuh yang berbahaya.

6. Sipat adil, temen, lan jujur. Ora pilih kasih, sing bener tetep diucapake bener, sing slah kudu seleh. Senanjanta marang bocah cilik, yen salah ya ngakoni kesalahane, kanti ucap temen lan jujur.

Artinya: Bersifat adil, amanah, dan jujur. Tidak pandang bulu, yang benar dikatakan benar dan jika salah harus mengalah. Walaupun terhadap anak kecil, jika berbuat kesalahan harus mengakuinya, dengan berkata benar dan jujur.

7. Bisa dadi pandam pengaubane sesama, dadi papan pitakonan apa bae. Suka wewarah becik aweh pepadang marang wong lagi kepetengan ati. Aweh bungah marang wong lagi ketaman susah. Aweh teken marang wong kang kalunyon, aweh boga marang wong kang lagi nandang luwe.

Artinya: Bisa menjadi rujukan, dan tempat bertanya tentang apa saja. Suka mengajarkan kebaikan, memberi penerang hati yang sedang kelam, menghibur orang yang susah, memberi tongkat bagi yang terpeleset, dan memberi makan kepada yang sedang kelaparan.


Di dalam Kitab Babad, Purwowijoyo menerangkan bahwa Warok berasal dari bahasa Jawa wirangi yang artinya orang yang sangat mengerti terhadap tingkah lau baik secara lahir maupun batin, sehingga ia selalu merasa malu bila melanggar kebenaran dan keadilan. Hidupnya hanya untuk sesama, masyarakat, dan negara. Semuanya dilandasi niat hanya untuk Allah. Warok berwatak lemah lembut terhadap sesama, tetapi kejam dan bengis kepada musuh “yen lemes kena kanggo tali, yen kaku kena kanggo pikulan”.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Warok dalam terminologi budaya Ponorogo tidak jauh berbeda dengan wara’ dalam literatur sufi. Jika Warok Ponorogo adalah seorang tokoh yang menempatkan dirinya pada posisi kebenaran dan keadilan, suka memberi pertolongan, memberi perlindungan, dan tumpuan bagi yang lemah, maka dalam tradisi Islam hal ini ada pada diri Salman, seorang sahabat Rasulullah Saw.

Salman adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan wara’-nya sehingga dia dianggap sebagai keluarga Nabi, ahli bait. Rasul berkata: Salman minna ahlulbayt. Ia meninggalkan keluarga dan tanah airnya di Ji, Ram Hurmuz, Persia, menjelajah berbagai negeri, sampai menjadi budak belian, hanya karena ia ingin mendekati manusia suci yang telah dijanjikan oleh kitab-kitab suci terdahulu.

Ketika diangkat menjadi gubernur pada zaman pemerintahan Umar, ia ditemukan orang memikul barang untuk orang lain. Ia tidak mau memakan tunjangan jabatannya. Bukan karena gaji itu haram, tetapi karena ia lebih memilih makanan dari hasil keringatnya sendiri. Ia merasa itulah hartanya yang paling bersih. Bila kini ada orang memilih hidup yang bersih, walaupun harus mengorbankan keuntungan, kekuasaan, popularitas, dan sebagainya, maka itulah seorang wara’, tetapi Warok Ponorogo walaupun mirip, ia adalah orang Ponorogo yang memiliki karakter menjaga harga dirinya secara ketat. Di Ponorogo tidak ada seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok yang lain. Di antara mereka ada rasa saling menghormati dan saling menyegani, tetapi tidak mau menjadi bawahan.


2. Kehidupan Sosial Warok Ponorogo

Seorang tokoh Warok Kasni Gunopati mengatakan: “Pramilo sedoyo lelampahan ingkang sumedyo dipun lampahi puniko penujunipun mboten sanes inggih dateng kewilujengan lan kautaman”. (Semua amal perbuatan itu tujuannya adalah keselamatan dan keutamaan). Oleh karena itu, menurutnya seorang warok hanyalah orang yang perilakunya dalam bermasyarakat tidak meninggalkan sembilan jenis keutamaan (kawruh utama), yaitu: 1) ora duweni ati cidro (berhati bersih dan suci), 2) ora nganti kalebon tumindak kang nisto (jangan sampai terjerumus dalam kehinaan), 3) temen, resik, eling (jujur, tulus, dan teguh), 4) nyudo marang pepinginane panca driya (mengurangi keinginan panca indera), 5), eling, rila, sentosa (iman, ridha, dan sabar), 6) ora ngrengkuh kalawan ambeda-beda (tidak pandang bulu), 7) welas asih marang sapodo-podo, (berbelaskasih terhadap sesama), 8) lahire kang tumemen, batine kang bening, (jujur lahir batin), 9) mangeran gesang (hidup seperti Tuhan).

Dalam hidup bermasyarakat, Warok Ponorogo taat kepada aturan “keselarasan antara jawab dan patrap (ucapan dan tingkah laku). Bila berkata harus diusahakan yang benar-benar bermanfaat bagi yang mendengar, tidak menimbulkan keluh kesah dan sakit hati, juga dalam amal perbuatannya. Oleh karena kebiasaan Warok menjaga perasaan dan ketenteraman orang lain inilah oleh masyarakat Ponorogo ia ditempatkan pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seorang yang selalu menjadi rujukan.

Kedudukan sosial yang tinggi memotivasi seorang Warok untuk tampil sebagai pemimpin dan memiliki anak buah yang disebut Warokan. Hal ini dapat dimengerti karena seperti masyarakat Ponorogo pada umumnya, seorang Warok memiliki sifat percaya diri, selalu menjunjung tinggi harga dirinya, selalu menjadi tuan atas dirinya sendiri, dan merasa menjadi jagoan yang tidak mudah diatur oleh orang lain. Biasanya tidak ada seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok lain. Mereka saling segan dan menghormati. Dalam masalah pribadi, biasanya juga diselesaikan secara pribadi, satu lawan satu, sportif, dan kesatria, berhadapan langsung tanpa melibatkan orang lain.

Penyandang gelar Warok lazimnya adalah orang-orang yang mumpuni, tidak sembrono, dan lurus hati. Walaupun berwatak keras, tetapi tergolong orang yang baik hati, tidak suka membuat keonaran, tetapi sebaliknya menjadi payung pengaman bagi masyarakat, suka menolong, jujur, dan sukar diajak kompromi dalam berbuat jahat.

Para Warok, umunya memiliki daerah kekuasaan tertentu dan disegani oleh masyarakat setempat. Di antara mereka sulit untuk bersatu, bahkan cenderung untuk bersaing dan berebut pengaruh demi memantapkan posisinya. Agar upayanya tercapai, para Warok melengkapi diri dengan selalu mempertajam kekuatan ilmu kanuragan dan keutamaan batin hingga ke luar daerah.


3. Spiritualisme Warok Ponorogo

Seorang tokoh Warok mengatakan: “antara warok, reyog, dan konco reyog itu merupakan pasangan yang tidak terpisahkan”. Di mana ada grup kesenian reyog pasti di situ ada Warok. Peran Warok besar sekali di dalam membentuk mental spiritual konco reyog. Kesenian reyog Ponorogo memiliki nilai-nilai luhur yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Nilai-nilai luhur itu meliputi: nilai filosofis, nilai edukatif, dan nilai religius (sakral). Dari kandungan nilai-nilai religius inilah unsur-unsur yang menjurus kepada hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama dihilangkan secara berangsur-angsur.

Warok Kasni Gunapati menuturkan: bahwa kata reyog mengandung penjabaran huruf r = rasa kidung, e = engwang sukma adiluhung, y = ywang agung kang pirsa, o = oleh kridaning gusti, dan g = gelar-gulung kersane kang kwasa”. Maksudnya, istilah reyog mengandung arti: segala puji bagi Tuhan yang Maha Agung, semua yang terjadi adalah karena kehendak-Nya”.

Dalam kehidupan ber-ngelmu juga dalam kehidupan sehari-hari Warok Ponorogo, sering dipakai nama panggilan Gusti bagi Tuhan. Sebutan Gusti itu bukan nama pribadi, tetapi nama sebutan bagi seorang yang tinggi kedudukannya atau berkuasa. Memang dalam perbendaharaan bahasa Jawa tidak ditemukan nama pribadi bagi Kang Murba ing Dumadi, tetapi di kalangan Warok Ponorogo sering digunakan nama sebutan Gusti atau Pangeran, dan nama keterangan kang murba ing dumadi, sing gawe urip, dan lain-lain.

Keyakinan terhadap Tuhan yang sering diistilahkan dengan sebutan Gusti Ingkang Maha Kuwaos inilah yang senantiasa tertanam pada diri Warok dan konco reyog secara menyeluruh. Oleh karenanya dalam kesenian reyog setiap aktivitas yang akan dilakukan, termasuk mantra-mantra yang dibaca sebagai doa selalu disandarkan kepada Tuhan dengan bacaan “basmalah”.

Dalam kitab Jawi PAMU (Purwa Aju Mardi Utama) karya seorang tokoh kejawen R. M. Djojopoernomo dinyatakan bahwa: “ana dene lelakon kang tanpa tjatjat iku kudu netepi marang agama Islam” (Hidup yang tanpa cacat harus memeluk agama Islam). Walaupun konsep ketuhanan dalam ajaran kejawen ini tidak dijelaskan bahwa ingkang maha kuwaos itu adalah Allah Swt, akan tetapi bagi para Warok yang beragama Islam (mayoritas Warok beragama Islam), semakin bisa menerima dan menanamkan nilai-nilai aqidah tersebut ke dalam hati sanubarinya. Dengan nilai-nilai aqidah yang tertanam dengan baik ini secara berangsur-angsur mampu menghilangkan hal-hal yang berbau syirik dalam kehidupan spiritualnya.

Nilai religius yang dikembangkan oleh Warok dalam hal ini adalah:

Gumelaring manungsa iki kabeh pada duwe penggayuh lan pangudi marang agama kelawan ngelmu, mungguh perlune iku mung rong prakara, jaiku; kanggo ngrenggo djiwa lawan rumeksa djiwa. Perlune pangrenggo kangge panolaking barang kang saru, perlune pangreksa kanggo netepake marang rahaju”.

Artinya:

Terciptanya semua manusia memiliki cita-cita dan kehendak terhadap agama dan ngelmu, gunanya untuk dua hal yaitu: untuk menghiasi jiwa dan memelihara jiwa, fungsi penghias untuk menghindar dari hal-hal yang buruk, dan fungsi pemelihara jiwa untuk memperoleh kebaikan.

Ngelmu dalam hal ini dibedakan dari kawruh (ilmu pengetahuan) nglemu merupakan suatu cara untuk mendalami ketuhanan, yaitu mendalami ketuhanan dengan suatu cara yang lain yaitu tanpa guru dan tanpa buku, tetapi dengan Tuhan. Sedangkan ilmu pengetahuan (kawruh) adalah pengumpulan pengertian tentang suatu soal yang didapat, karena tahu. Tahu berarti mencerap perangsang indera, berkesan dan mengerti kesan itu.

Seorang Warokan, mengatakan:

Manungsa iku makhluk lair lan batin, yo katon yo ora katon. Mula kuwi bisa sesaba marang sepada-pada kang katon uga kang ora katon. Manungsa bisa manunggal tekat, manunggal gawe, lan liya-liyane kalawan sepada-pada kanti migunaake kawruh lahir, manungsa uga bisa menunggal karsa kalawan kang Maha Kuwasa kanti ngeraga sukma.

Artinya:

Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani dapat dilihat, sedangkan unsur rohani tidak. Oleh karena itu di samping bisa beradaptasi dengan sesamanya ia juga bisa menyadap keberadaan Tuhan dan menyamakan kemauan dengan Tuhan melalui raga sukma.

Dalam kehidupan sehari-hari Warok Ponorogo selalu mengolah batinnya agar bisa sejiwa atau sesuai dengan prinsip hidup yang diterima dalam hati. Sebagai seorang petani, Warok Ponorogo mengenal filsafat “pak tani mengolah dan menggarap sawah”. Mengolah tanah mengandung pengertian: menyediakan alat-alatnya untuk menggarap tanah, membajak, menggaru, mencangkul, dan memupuk. Sedangkan menggarap adalah aktivitas yang dilakukan setelah proses pengolahan.

Bajak (luku Jawa) sebagai alat untuk menggarap tanah dapat diasosiasikan dengan kehidupan spiritual. Nama-nama bagian dari bajak itu dalam bahasa Jawa adalah:

Cekelan (pegangan), cekelan atau pegangan di dalam kehidupan spiritual yang tertentu memudahkan untuk mencapai tujuan. Dalam rangka mengetahui larangan dan kewajiban manusia terhadap Gusti seyogyanya manusia mencari pegangan.

Tanding, (membanding, memikirkan, menimbang). Semua pengertian rohani yang diperoleh dari pegangan jangan sampai diterima apa adanya, tanpa memikirkan dan membandingkan dengan yang lain, agar dapat menempatkan sebagaimana mestinya.

Singkal, (sing tinemu ing akal). Dengan cara yang dapat diterima akal budi manusia. Hanyalah pengertian yang wajar yang dapat mendamaikan hati dan diterima logika akal dan logika hati.

Kajen, (menyang kasawijen). Kedalaman manunggaling kawula gusti. Satu-satunya tujuan rohani adalah persatuan rasa dan persatuan karsa. Kepada tujuan ini semua pemikiran dan gagasan rohani harus terarah.

Tuntunan (pimpinan). Semua pangikut ngelmu harus patuh terhadap tuntunan daya gaib Gusti. Guru nglemu hanya berkewajiban mempersiapkan untuk hidup berngelmu.

Pasangan (dua tempat kerja yang berpasangan). Kedua daya kerja yang membawa manusia maju dalam hidup rohani adalah: Daya gaib Gusti dan daya kodrat manusia, yaitu niat dan patrap (perbuatan). Untuk kelancaran hidup berngelmu manusia harus sesuai antara niat dan patrap.

Sawet (sawetah). Sawet ada dua, demikian pula sawetah; sawetah yang bersifat tan-ana dan sawetah yang bersifat mawana.

Racuk (ngeraho pucuk). Tujulah yang paling atas. Satu-satunya tujuan yang paling sempurna dalam hidup berngelmu ialah kebebasan kekal.

Bajak sawah digunakan oleh petani untuk menggarap sawah ladangnya, membalik tanah agar tanah subur yang berada di bawah bisa menimbuni tanah gersang di bagian atas. Di atas tanah yang subur tentu tanaman akan tumbuh subur dan baik buahnya.

Jika dikaitkan dengan kehidupan spiritual Warok Ponorogo, mengolah tanah adalah simbul dari olah batin. Sedangkan menggarap tanah adalah simbul dari hidup ber-ngelmu. Ngelmu adalah pengetrapan lelaku. Lelaku adalah jalan hidup yang bertitik tolak dari niat dan tekat manusia dan bertujuan cita pengharapan ngelmu. Begitulah yang diharapkan dalam kehidupan spiritual. Ngelmu dapat tumbuh dan berkembang pada batin manusia yang telah dibersihkan dari hal-hal yang tidak diterimanya. Dari batin yang bersih akan melahirkan manusia suci yang bermanfaat bagi sesamanya.

Manusia suci dalam Islam disebut manusia takwa (QS. 10: 62 – 64). Manusia takwa adalah wali-wali Allah yang “semula mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia” أومن كان ميتا فأحييناه وجعلنا له نورا يمشي به في الناس (QS. 6: 122).

Untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniyah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniyah ini dalam Islam adalah puasa.

Di kalangan Warok Ponorogo berlaku amalan-amalan untuk mempertebal kekuatan spiritualnya. Salah satunya adalah puasa. Melakukan puasa bagi mareka ada bermacam-macam cara tergantung tujuan yang hendak dicapainya. Secara keseluruhan amalan puasa Warok Ponorogo mengikuti aturan syariat Islam, tetapi terdapat aturan tambahan yang berasal dari tradisi lain, sebagai berikut:

Puasa ngrowot, yaitu berpuasa dengan berpantang nasi, makanan yang mengandung gula, rasa pedas, dan rasa asin.

Puasa ngidang, yaitu hanya makan sayur-sayuran saja dengan tangan diikat di bambu kuning, bila makan harus dengan menggunakan mulutnya seperti kijang, tidak boleh dengan tangan atau kaki.

Puasa mendem, yaitu tinggal di dalam lubang tanah, tidak boleh terkena sinar matahari atau cahaya apapun, gelap seperti dalam liang kubur.

Puasa patigeni, yaitu harus bertapa di dalam bilik, dilarang melihat api, tetapi boleh minum air putih. Puasa ini berlangsung sehari semalam sejak pertengahan malam hingga paroh malam berikutnya.

Puasa mutih, yaitu hanya boleh makan nasi putih, tanpa lauk-pauk, minum hanya dengan air putih, dan dilakukan sama dengan puasa mati geni.

Puasa ngalong, yaitu hanya diperbolehkan makan buah-buahan, bila malam dilarang tidur, mata tidak boleh terpejam walau sekejap, harus melotot seperti kelelawar.

Puasa ngasep, yaitu hanya boleh minum air putih murni dingin tanpa dicampuri apapun dan makan makanan yang telah dingin.

Puasa ngepel, yaitu boleh makan nasi dengan cara dikepal, digenggam sebanyak bilangan angka ganjil.

Puasa ngebleng, yaitu tidak boleh makan minum jenis apapun, tidak boleh tidur semalam suntuk, kecuali menjelang terbit matahari, tidak boleh keluar dari bilik meskipun untuk keperluan buang air besar dan kecil.


Kesimpulan

Warok adalah simbol penghargaan sosial yang tinggi di Ponorogo. Siapapun yang menyandang gelar Warok di pundaknya dipikul tanggung jawab kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Pada kehidupan spiritual Warok Ponorogo telah terjadi akulturasi ajaran tasawuf Islam dan tradisi Jawa tradisional, sehingga disebut Islam kejawen. Hal ini nampak pada kebiasaan warok dalam menyebut nama Tuhan menggunakan nama Gusti, Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, Tuhan yang Maha Esa dan Pangeran, Pageran Ingkang Maha Agung, Tuhan yang Maha Agung. Beberapa amalan seperti puasa, juga dilakukan dengan memadukan antara ajaran Islam dengan ajaran Jawa tradisional, sehingga ada istilah puasa ngrowot, ngidang, patigeni, mutih, ngasep, dan lain-lain.

Walaupun di dalam spiritualisme Warok Ponorogo terdapat keunikan dalam amaliahnya, tetapi hal ini dilakukan untuk mempertebal kekuatan spiritualnya. Mereka memahami Islam dalam keterkaitan dengan kepercayaan dan tradisi setempat, memeluk Islam tanpa melepaskan kepercayaan dan tradisi lama. Ini adalah salah satu praktik keberagamaan yang menurut Kang Jalal disebut sebagai tanpa melakukan proses “depribumisasi” masyarakat muslim.



Daftar Pustaka

Hartono, Reyo Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi), Ponorogo, Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, UII Press, 1986.

Payamani, Ma’ruf al-, Islam dan Kebatinan, Solo, CV. Ramadani, 1992.

Poernomo, Moh. Sejarah Pondok Pesantren Tegalsari Jetis Ponorogo, Ponorogo, Keluarga Dalem Tegalsari, t.th.

Profil Propinsi Republik Indonesia Jawa Timur, Jakarta, Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992.

Purwowijoyo, Babad Ponorogo, Ponorogo, Kantor Depdikbud Ponorogo, Jilid I – X, t.th.

Simuh, Tasawuf dan Kebatinan di Indonesia, dalam “Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam (Ilmu Tasawuf). Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI., 1986.

____, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Soeharini, Sri, Babad Jawi Kartasura, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1987.

Arsip Blog